LiveBola – Kompetisi Gojek Liga 1 2018 tinggal menyisakan lima pekan lagi. Tim-tim papan atas berlomba meraih puncak klasemen, begitu pula dengan persaingan untuk menghindari degradasi.
Tapi jalannya kompetisi itu diwarnai oleh banyak kontroversi. Mulai dari sanksi untuk klub, sanksi buat pemain, sanksi bagi suporter, hingga keputusan kontroversial para pengadil lapangan. Hal itu kemudian dikaitkan dengan beberapa hal, salah satunya: adanya mafia bola.
Mafia bola sudah menjadi rahasia umum. Bahkan kata mantan ketua PSSI, Johar Arifin Husein, itu sudah bukan rahasia lagi. Semua orang, mulai dari wasit, pelatih, pemain, suporter, sudah tahu mengenai adanya mafia bola. Menurutnya, Indonesia sudah dikuasai mafia bola sejak 20 tahun lalu.
Pada 26 Oktober 2014, pertandingan antara tuan rumah PSS Sleman melawan PSIS Semarang berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan tuan rumah. Yang menarik, semua gol dalam pertandingan itu merupakan gol bunuh diri. Konon, kedua tim berusaha mengalah untuk menghindar dari Borneo FC yang sudah dijamin kemenangannya di tiap pertandingan.
Atas peristiwa itu, semua pemain yang ikut bermain dalam pertandingan diberi sanksi, bahkan ada beberapa pemain yang terkena sanksi seumur hidup. Peristiwa itu membuat publik makin percaya bahwa mafia bola, nyata adanya.
Apung Widadi, aktivis Save Our Soccer (SOS), dalam acara Mata Najwa, mengatakan adanya mafia bola tak lepas dari keterlibatan banyak elemen yang ada di sepak bola. Elemen-elemen itu di antaranya, pemain, klub peserta, birokrasi PSSI, dan pemodal kompetisi.
Modusnya bermacam-macam. Salah satunya adalah dengan menyogok pemain yang belum menerima gaji. Hal lain yang ditekankan Apung dalam kasus mafia bola adalah juara kompetisi sudah ditetapkan sejak kompetisi dimulai.
Mafia bola juga tak bisa lepas dari bandar judi. Bandar judi itu biasanya datang dari luar negeri, seperti China, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Mereka melihat Indonesia sebagai ladang subur untuk judi mengingat banyak klub di Indonesia yang keuangannya tidak sehat. Untuk sekali main, tim yang “disogok” untuk kalah biasanya dibayar dengan uang Rp400-600 juta.
Rocky Putiray, mantan pemain nasional, adalah salah satu pemain yang pernah coba disogok oleh para mafia. Waktu itu saat masih memperkuat Persijatim di awal tahun 2000, Rocky mencoba disuap dengan uang sebesar Rp100 juta agar tidak usah mencetak gol.
Tapi dalam pertandingan itu, Rocky tetap bermain bagus dan mencetak 2 gol. Katanya kepada manajemen seusai pertandingan, ia menerima uang Rp100 juta dan ia merasa itu adalah haknya mengingat gajinya belum dibayar selama dua bulan.
Dalam acara Mata Najwa, Bambang Nurdiyansyah, mengatakan bahwa dulu waktu PSSI masih dipimpin Kardono, dia pernah mengalami isu suap. Isu itu akhirnya menjadi berita nasional dan berujung pada sanksi yang diberikan komdis pada Bambang.
Padahal, ia mengaku pada saat itu tidak menerima suap tersebut. Vonis yang diberikannya pun sebenarnya bukan karena suap, tapi karena berhubungan dengan mafia.
Bergeser ke tahun 2017, isu adanya dugaan mafia bola kembali menguat. Kali ini adalah kontroversi terpilihnya Bhayangkara FC sebagai juara Liga 1 yang diduga telah ditentukan sebelumnya.
Manajer Madura United, Haruna Soemitro, mengatakan ada yang tak wajar dalam pertandingan antara timnya dengan Bhayangkara FC di mana setelah pertandingan itu Bhayangkara FC terpilih menjadi juara setelah menggasak Madura United 3-1.
Beberapa hari sebelumnya, Bhayangkara ditetapkan secara cuma-cuma mendapat tiga poin karena dianggap menang Walk Out (WO) atas Mitra Kukar karena menurunkan Mohamed Sissoko, pemain yang sedang kena akumulasi kartu. Padahal, pihak Mitra Kukar sendiri tidak mengetahui perihal sanksi tersebut.
Kini, dugaan adanya mafia bola menguat lagi. Hal itu muncul tatkala Persib Bandung disanksi akibat tewasnya Haringga, suporter Persija yang tewas saat ingin menyaksikan klub kesayangannya berlaga di Bandung.
Akibatnya, Persib harus berlaga tanpa suporter sampai pertengahan musim 2019. Kelompok suporter Persib tidak terima dengan sanksi tersebut yang menyebutkan PSSI mencegah klub kesayangan mereka yang saat itu tengah kokoh di puncak klasmen untuk meraih gelar juara. Bahkan, karena dianggap tak mampu membebaskan sepak bola Indonesia dari mafia, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, dituntut mundur dari jabatannya.
Mengenai sanksi komisi disiplin PSSI, memang banyak ditemukan ketidakjelasan. Dalam akun Instagram-nya, aktivis Save Our Soccer, Akmal Malhari, menulis ada berbagai ketidakjelasan terutama dari sanksi kondis yang dijatuhkan pemain.
Dalam postingannya itu, ia merujuk pada kasus yang menimpa pemain Borneo FC, Tijani Belaid, dan pemain Persebaya, Osvaldo Haay. Keduanya mendapat sanksi susulan di saat sanksi pertama sudah dijatuhkan.
Akmal kemudian meminta federasi untuk transparan soal keuangan, mengenai dari mana dana mereka berasal, untuk apa saja dana itu dikeluarkan. Tapi sampai sekarang, PSSI belum mau terbuka soal uang.
Juga soal kasus-kasus yang terjadi seperti kematian suporter, keputusan komdis, tunggakan gaji pelatih, dan tentu saja, soal siapa saja orang yang terlibat mafia bola di Indonesia.